A Learning and Hope on THK

By

A Learning and Hope on THK

Bukan sekedar ajang silaturahim, kumpul keluarga atau ajang berbagi kepada yang tidak mampu, lebih dari itu, Idul Adha menjadi momen penting bagi kita untuk mengingat kembali serta merenungkan esensi dari kisah keteladanan nabi Ibrahim AS dan Ismail AS. Belajar tentang keikhlasan dan pengorbananan yang semata-mata sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan atas perintah Allah SWT. Sama halnya dengan berkurban, niatan kita tidak lain adalah karena Allah, sebagai bentuk ketaatan pada sang Rabb kita. Pada hari raya kurban ini, Dompet Dhuafa bergerak di seluruh pelosok negeri, mensyiarkan ajakan berkurban, mengelola kurban dan menebarkannya ke berbagai pelosok Indonesia.
24 September 2015, sebagai salah satu Tim Quality Control  (QC) tebar hewan kurban (THK) Dompet Dhuafa, saya mendapatkan amanah menebar satu ekor sapi di Dusun Lagoci, Desa Timusu, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Bagi saya, ini adalah kali pertama andil dalam proses pelaksanaan kurban. Dari sini saya belajar banyak tentang seluk beluk kurban, bahwa sejak pemilihan hewan ternak yang baik dan sehat sesuai syariat, penyembelihan, hingga penebaran hewan ada standarnya.
Di sini saya memulai perjalanan QC THK. Karena berkantor di kota Makassar, saya meminta saudara dari kampung target THK untuk mencarikan sapi yang sesuai standar dan syariat, usia di atas dua tahun, berat minimal 250 kg, sehat, tanpa cacat, memakanan makanan yang baik serta membelinya langsung dari peternak. Pada hari H, saya sudah berada di dusun Lagoci, sepulang dari shalat Idul Adha segala keperluan dipersiapkan dan sapi disembelih setelah shalat dhuhur. Dibantu oleh imam masjid dan warga sekitar, proses penyembelihan dan pemotongan berjalan lancar. Dari sini saya kembali belajar, mempraktekkan ilmu yang baru saja saya terima dari penyuluhan standar penyembelihan dan pemotongan di Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan, seperti penggunaan pisau tajam untuk menyembelih hewan kurban, perlunya menyiapkan lubang pembuangan darah dan kotoran sapi serta penggunaan plastik bening untuk mengemas daging yang akan dibagikan.
Setelah proses pemotongan dan penimbangan, daging yang telah dikemas dengan kantong plastik bening, ditebar kepada 81 warga desa yang tidak mampu. Proses penebaran sapi dibantu oleh remaja. Jika penebaran hewan kurban di kota harus melalui kupon untuk mengantisipasi kericuhan pada saat antri dan pembagian, di kampung ini panitia membagikan langsung ke setiap rumah warga yang terdaftar. Selain di kampung Lagoci, 27 kantong diantarkan ke kampung Lappa Maluang, sebuah kampung kecil di atas pegunungan. Kampung tersebut termasuk wilayah yang sangat terpencil dan pernah menjadi target misionaris.
Awalnya, keluarga dan warga yang ada di rumah tidak percaya bahwa saya ke kampung tersebut. Pasalnya, hanya ada dua pilihan akses menuju lokasi, melakukan pendakian dengan berjalanan kaki melewati sawah dan kebun-kebun warga di perbukitan atau naik motor melalui akses jalan dari dusun seberang dengan medan terjal dan berbatu besar. Saya mengambil pilihan kedua mengingat sapi yang dibawa cukup berat untuk dijinjing.
Ketika akan berangkat, keadaan sempat tegang. Keluarga berharap agar bukan saya yang ke sana karena akses jalan yang sulit ditambah tidak ada yang tahu pasti jalan menuju ke lokasi tersebut. Setelah meyakinkan mereka dan menemukan ada salah satu adik sepupu yang pernah ke sana beberapa kali, kami berangkat dengan naik motor. Sebelum berangkat saya sudah membayangkan kondisi jalan terburuk yang pernah saya lalui sebelumnya, saya menyiapkan dugaan akan lebih buruk akses jalan yang akan saya lewati kali ini. Dugaan saya terbukti, meskipun tidak kaget dengan jalan terjal, menanjak, licin dan berbatu yang sedang saya hadapi, saya tak hentinya berdzikir dan berdoa. Sesekali mata saya terbelalak, tertutup dan mengencangkan doa. Beberapa kali motor kami kandas tepat di tanjakan terjal.
Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di kampung di Lappa Maluang. Rumah-rumah kayu tertata tidak rapi, ada yang berjarak dekat dan jauh, antara satu rumah dengan rumah lain banyak yang terpisah antara kebun. Di jalanan masuk kampung, beberapa rumah terlihat cerah dengan cat kayu yang masih baru, masuk ke dalam mulai terlihat rumah-rumah kayu tanpa cat dan tanpa jendela kaca. Karena beberapa warga di kampung ini telah menjadi korban misionaris dengan keluar dari agama Islam, maka sapi kami tebar melalui Imam masjid kampung untuk memastikan kurban diterima oleh orang yang tepat, namanya Ustadz Amir. Beliaulah yang berjuang untuk mensyiarkan kembali Islam di kampung ini. Setelah diserahkan, kurban ditebarkan oleh Ustadz Imam dan Istrinya.

Aksi THK ini menaruh harapan besar kepada yang berpunya untuk senantiasa ikhlas dan lapang dalam berbagi, harapan besar bagi penerima manfaat agar termotivasi untuk terus memperbaiki kualitas keimanan dan kehidupan sosial, sekaligus menjadi pembelajaran berharga bagi para amil dalam keteguhan menjalankan tugas syiar Islam. 
Tinggalkan Komentar

About the author